Dulu aku pikir, hidup yang ideal itu adalah hidup yang rapi, teratur, penuh pencapaian, dan tanpa cela. Aku kejar target demi target, sibuk memperbaiki setiap detail yang “kurang”, dan merasa bersalah kalau hasilnya nggak sempurna. Tapi lama-lama, aku lelah sendiri. Kok rasanya seperti lomba tanpa garis finish? Sampai aku sadar: mungkin aku nggak benar-benar ingin jadi sempurna. Aku cuma ingin diterima. Termasuk oleh diriku sendiri. Well, di artikel ini aku akan membahas gapapa kok berani tampil adanya, shall we start now...
Perfeksionis Itu Capek (dan Kadang Menyakitkan)
Pernah nggak sih, kamu ngerasa harus banget semuanya berjalan sesuai rencana? Nggak boleh ada yang meleset. Nggak boleh salah. Nggak boleh gagal. Aku pernah di titik itu. Aku marah kalau ada yang nggak sesuai ekspektasi. Aku kecewa sama diri sendiri cuma karena satu dua hal kecil.
Dan yang lebih parah, aku jadi suka menunda. Karena kalau belum yakin hasilnya bagus banget, ya mending nggak usah mulai. Terdengar familiar?
Perfeksionisme sering menyamar sebagai standar tinggi, padahal diam-diam dia bikin kita takut bergerak. Bukannya produktif, kita malah stuck. Bukannya bahagia, kita jadi keras sama diri sendiri.
Hidup Bukan Kompetisi Siapa yang Paling Sempurna
Sampai suatu hari, aku nulis jurnal dan nemu satu pertanyaan yang mengubah cara pandangku: “Kalau kamu tahu hasilnya nggak harus sempurna, apa hal yang akan kamu lakukan hari ini?”
Pertanyaan itu kayak membuka kunci yang selama ini kukunci sendiri. Ternyata banyak hal yang ingin aku lakukan — nulis, belajar hal baru, berbagi cerita — tapi tertahan karena takut nggak maksimal. Dari situ aku mulai mengubah mindset: bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling sempurna, tapi siapa yang terus bergerak, meskipun dengan langkah kecil.
Dari Perfeksionis Jadi Progresif
Aku mulai berani tampil apa adanya. Upload foto yang nggak terlalu estetik. Posting tulisan yang nggak 100% rapi. Share cerita meski masih berantakan. Awalnya risih. Tapi pelan-pelan aku merasa lebih lega, lebih jujur, lebih manusiawi.
Dan ternyata, responnya nggak seburuk itu. Justru banyak yang relate. Banyak yang bilang, “Aku juga ngerasain hal yang sama.” Aku sadar, kerentanan itu bukan kelemahan. Ia jembatan untuk terhubung lebih dalam — dengan orang lain, dan dengan diri sendiri.
Apa yang Berubah Saat Berani Tampil Apa Adanya?
Aku jadi lebih bebas. Lebih berani coba hal baru. Lebih ramah sama diriku sendiri. Nggak lagi menunda karena takut nggak sempurna. Nggak lagi overthinking karena mikir “nanti orang lain bilang apa.”
Karena aku tahu, tujuan utamaku bukan untuk menyenangkan semua orang. Tapi untuk hidup yang selaras dengan diriku sendiri. Dengan cara yang otentik. Dengan ritme yang aku pilih sendiri.
Kamu Nggak Harus Sempurna untuk Layak Dimulai
Kalau kamu nunggu sampai semuanya ideal, mungkin kamu nggak akan pernah benar-benar mulai. Tapi kalau kamu berani melangkah dengan versi seadanya, kamu akan kaget melihat seberapa jauh kamu bisa tumbuh.
Tampil apa adanya bukan berarti menyerah. Tapi justru keberanian untuk menjadi versi diri yang paling jujur — dan itu nggak kalah berharga dibanding kesempurnaan palsu yang kita kejar selama ini.
Yuk, rayakan progres, sekecil apa pun itu. Karena kamu berhak bangga pada diri sendiri, bukan karena sempurna, tapi karena tetap melangkah.
Buat kamu, ibu bekerja yang setiap hari juggling antara deadline dan drama rumah tangga — percayalah, kamu hebat bahkan saat dunia nggak melihatnya.
Mungkin kamu merasa nggak ngapa-ngapain hari ini, padahal kamu baru saja menyelesaikan rapat sambil nemenin anak belajar, masak sambil jawab chat kerjaan, atau sekadar bertahan di tengah hari yang berat — dan itu semua valid, itu semua cukup.
Terus melangkah, Bu. Dengan cara kamu sendiri. Dengan tempo yang kamu sanggupi. Karena jadi ibu dan jadi diri sendiri — keduanya tetap bisa berjalan berdampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)