Ada masa ketika aku berpikir bahwa hidup yang baik itu adalah hidup yang sempurna. Semua harus rapi, sesuai rencana, tanpa celah, tanpa cacat. Rasanya kalau ada yang meleset sedikit saja, aku gagal. Tapi semakin aku menua, semakin aku sadar: hidup nggak pernah berjalan seindah ekspektasi kita. Dan mungkin memang bukan itu tujuannya.
Sekarang, terutama di usia 40, aku belajar sesuatu yang jauh lebih melegakan: bahwa melepas perfeksionisme adalah kunci untuk bahagia. Dan ternyata, cukup itu sudah lebih dari sempurna.
Ketika Perfeksionisme Jadi Jerat
Aku lupa satu hal: aku manusia. Dan manusia memang nggak pernah diciptakan untuk sempurna.
Momen Ketika Aku Belajar Melepas
Turning point-ku datang di satu sore sederhana. Aku baru pulang kerja dengan kepala penuh deadline. Sampai rumah, aku mendapati ruang tamu berantakan karena anakku sibuk membuat prakarya.
Dulu, aku mungkin akan langsung ngomel: kenapa rumah nggak rapi? Kenapa nggak nunggu aku pulang biar bisa dibersihkan dulu?
Tapi sore itu aku hanya duduk, melihat anakku tersenyum puas menunjukkan hasil karyanya. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyusup. Aku berpikir: apa gunanya rumah rapi tanpa tawa ini? Apa artinya semua terkontrol sempurna kalau aku kehilangan momen sederhana yang sebenarnya bikin hati bahagia?
Di situ aku sadar: kadang “cukup” itu sudah lebih dari cukup.
Belajar Bahwa Hidup Tak Harus Sempurna
Sejak saat itu, aku mulai belajar menerima kalau nggak semua hal harus sesuai ekspektasi.
-
Kalau rumah berantakan sedikit, ya sudah, itu tanda rumahku hidup.
-
Kalau anakku dapat nilai biasa saja, bukan berarti dia gagal.
-
Kalau aku pun kadang salah langkah dalam pekerjaan, bukan berarti aku nggak kompeten.
Aku mulai berhenti mengukur hidup dengan standar “sempurna”. Karena standar itu nggak pernah ada ujungnya, dan selalu bikin hati lelah.
Sebaliknya, aku mulai bersyukur pada hal-hal kecil: bisa ngobrol tenang dengan anak, bisa duduk ngopi tanpa dikejar waktu, bisa menulis refleksi seperti ini. Itu hal sederhana, tapi justru di situlah letak kebahagiaan yang sebenarnya.
Dampak Melepas Perfeksionisme
Ketika aku berani melepas perfeksionisme, ada banyak perubahan besar dalam hidupku:
-
Lebih TenangAku nggak lagi gampang panik kalau sesuatu meleset dari rencana. Aku belajar fleksibel, dan ternyata itu membuat hidup jauh lebih ringan.
-
Lebih Dekat dengan Orang-Orang TersayangDulu aku sibuk menuntut kesempurnaan, sekarang aku lebih bisa hadir apa adanya. Anak pun merasa lebih nyaman, karena mamanya nggak lagi hanya fokus pada hasil, tapi juga proses.
-
Lebih Sayang pada Diri SendiriMenerima bahwa aku manusia yang wajar salah dan lelah membuatku lebih lembut pada diriku sendiri. Aku berhenti jadi musuh terberat untuk diriku.
-
Lebih Bahagia dengan Hal SederhanaBahagia ternyata nggak datang dari kesempurnaan. Bahagia datang dari hati yang bisa menerima, dari mata yang bisa melihat keindahan di balik kekurangan.
Cukup Itu Sudah Sempurna
Kalau dulu aku berpikir bahagia itu datang setelah semua sempurna, sekarang aku sadar justru sebaliknya. Bahagia datang ketika aku bisa bilang: “Ini cukup. Aku cukup. Hidupku cukup.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi butuh perjalanan panjang untuk benar-benar menghayatinya. Dan sekarang, di usia 40, aku ingin merayakan setiap “cukup” yang aku miliki.
Rumah yang cukup hangat. Karier yang cukup membuatku belajar. Keluarga yang cukup untuk membuatku merasa dicintai. Diri sendiri yang cukup berharga untuk dihargai.
Karena pada akhirnya, melepas perfeksionisme bukan berarti menyerah. Itu justru tanda bahwa kita siap hidup dengan lebih sadar, lebih damai, dan lebih bahagia.
Penutup
Melepas perfeksionisme adalah proses yang nggak instan. Ada hari ketika aku masih merasa ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Ada hari ketika aku kembali kecewa kalau ada hal yang meleset. Tapi perlahan, aku belajar untuk menarik napas, tersenyum, dan berkata: cukup itu sudah sempurna.
Jadi, buat kamu yang mungkin masih sering terjebak dengan standar tinggi untuk diri sendiri, percayalah: hidup nggak harus sempurna untuk bahagia. Kadang, justru dalam ketidaksempurnaan itulah kita menemukan keindahan yang paling tulus.
Membaca artikel ini serasa sedang di cubit. Aku termasuk orang yang inginnya teratur dan perfeksionis, sampai-sampai aku merasa kewalahan gimana orang sekitarku? Pasti makin nggak nyaman juga ya.
BalasHapusMakasih mba, sudah detailkan gimana cara melepas perfeksionis. Bismillah semangat dan dimampukan buat lakukan step by stepnya. Bukan buat oranglain, tetapi demi kebahagiaan dan ketenangan diri sendiri juga.