Ada satu masa dalam hidupku di mana aku merasa sendirian, padahal lingkar pertemananku selalu ramai. Ironis, bukan? Tapi setelah ditelisik lebih dalam, ternyata bukan tentang jumlah teman yang kupunya, tapi tentang warna dalam circle-ku. Semuanya mirip—sefrekuensi, satu lingkungan, topik pembicaraan yang itu-itu saja. Saat aku butuh sudut pandang yang berbeda atau pelarian dari tekanan di satu lingkungan, aku gak punya tempat “pulang” yang lain. Dari sanalah aku sadar: penting banget punya berbagai circle pertemanan dengan dinamika yang beragam.
Punya banyak circle bukan soal ikut-ikutan tren networking atau biar kelihatan sociable di media sosial. Ini tentang self-preservation—cara menjaga kewarasan dan mengisi ulang energi emosional kita. Circle yang beragam bukan cuma memperluas koneksi, tapi juga membuka pintu untuk melihat dunia dari berbagai jendela yang berbeda.
Kadang circle itu bisa jadi seperti Rumah Kurcaci Pos, kecil tapi hangat, tempat kita selalu bisa pulang meski sekadar numpang istirahat sebentar. Mereka juga bisa menjelma jadi Tempat Berbagi Cerita dan Ceria, di mana tawa dan air mata bertemu tanpa dihakimi. Dari situlah aku sadar, circle yang beragam bukan cuma soal menambah teman, tapi juga memperkaya cara pandang, menguatkan langkah, dan mengingatkan bahwa perjalanan ini nggak harus dijalani sendirian.
1. Circle Teman Sebaya: Tempat Cerita Tanpa Perlu Banyak Jelas
Circle teman sebaya itu seperti rumah. Gak perlu terlalu banyak penjelasan karena latar belakang kita kurang lebih sama. Di sinilah biasanya aku bisa ketawa lepas, saling mengeluh tanpa takut dihakimi, atau sekadar berbagi keresahan tentang hidup yang kayaknya makin absurd tiap harinya.
Tapi jujur, circle ini juga yang kadang bikin jenuh. Karena kita punya konteks yang sama, kadang kita terjebak dalam masalah yang itu-itu aja. Aku pernah merasa stuck karena obrolannya hanya seputar pekerjaan, cicilan, dan rencana resign yang belum kunjung terlaksana.
2. Circle Teman Kerja: Realita dan Dinamika Profesional
Bersama teman kerja, aku belajar tentang dinamika dunia profesional. Circle ini sangat penting, apalagi ketika kita butuh insight pekerjaan atau pengingat untuk tetap on track. Tapi jujur, gak semua teman kerja bisa jadi tempat curhat. Harus pintar-pintar jaga batas, karena dunia kerja penuh dengan dinamika yang sensitif.
Di sinilah aku belajar tentang pentingnya memilah, mana yang benar-benar teman, mana yang sebatas rekan kerja. Aku pernah kecewa karena terlalu membuka diri dengan kolega yang ternyata lebih nyaman menyebar cerita daripada menyimpannya. Dari situ, aku belajar untuk tetap hangat, tapi tidak terlalu terbuka.
3. Circle Komunitas: Ruang Bertumbuh dengan Minat yang Sama
Bergabung di komunitas menulis, parenting, atau sosial memberiku ruang untuk berkembang dan merasa belong. Di circle ini, aku bisa belajar tanpa merasa dihakimi. Aku juga bisa recharge semangat dari cerita-cerita teman komunitas yang penuh inspirasi.
Salah satu pengalaman yang paling menyentuh adalah saat aku menghadiri gathering komunitas menulis. Di sana, aku bertemu ibu-ibu yang menulis bukan karena punya waktu luang, tapi karena menulis adalah alat selamat jiwa. Rasanya kayak pulang ke tempat yang gak pernah ada sebelumnya.
4. Circle Gen Z: Tempat Belajar dan Tetap Relevan
Jangan salah, punya teman yang lebih muda juga penting. Dari Gen Z aku belajar banyak—tentang bagaimana mereka memandang dunia, bagaimana mereka memperjuangkan batasan (boundaries), dan betapa cepatnya mereka beradaptasi dengan teknologi.
Circle ini sering jadi tempatku “mencuci kepala”, karena mereka begitu terbuka dan jujur. Mereka gak ragu bilang, “Kak, itu jadul banget!” atau “Kenapa gak coba ini aja?” Lucunya, aku gak merasa tua. Justru, aku merasa diperbarui.
5. Manfaat Memiliki Banyak Circle
-
Penyegar saat jenuh. Ketika merasa lelah di satu circle, aku bisa “istirahat” sejenak dan mampir ke circle lain yang lebih menyenangkan atau menenangkan. Ini semacam healing station buatku.
-
Perluasan perspektif. Tiap circle punya nilai dan pandangan yang berbeda. Ini melatih empati dan membuka wawasanku.
-
Mengurangi ketergantungan emosional. Kadang kita terlalu menggantungkan kebahagiaan atau validasi pada satu kelompok. Dengan banyak circle, kita jadi lebih seimbang dalam membagi energi sosial.
6. Sedikit Tapi Bermakna
Memiliki banyak circle bukan berarti harus punya banyak teman. Gak perlu memaksa semua circle diisi puluhan orang. Aku sendiri lebih nyaman punya circle kecil tapi dalam. Yang penting bukan kuantitas, tapi kualitas relasinya.
Circle bukan sekadar kumpulan orang yang kita kenal, tapi ruang-ruang di mana kita bisa tumbuh, bernafas, dan terkadang... sembuh. Saat satu circle sedang panas-panasnya, kita bisa istirahat di circle lain yang lebih adem. Saat merasa asing di satu tempat, kita bisa menemukan makna baru dari obrolan di circle lainnya.
Jadi, coba cek lagi circle yang kamu punya. Apakah warnanya cukup beragam? Apakah kamu punya tempat singgah saat salah satu lingkaranmu terasa sumpek? Kalau belum, mungkin ini saat yang tepat untuk membuka diri dan melangkah ke ruang sosial baru.
Ingat, punya banyak circle bukan tentang jadi people pleaser, tapi tentang membiarkan diri kita terus bertumbuh dan menemukan versi terbaik dari diri sendiri melalui interaksi yang bermakna.
Kalau kamu punya pengalaman serupa atau sedang membangun circle yang sehat dan suportif, share ceritamu di kolom komentar, ya. Siapa tahu, kisahmu bisa jadi jembatan untuk seseorang yang sedang mencari ruang nyaman.
Saya pernah berada di posisi dimana memiliki teman yang satu frekuensi dan satu pekerjaan. Tapi setelah bergabung di komunitas blogger dan menulis, banyak hal berbeda yang saya temukan. Keluarga di rumah juga tempat saya mengobati kejenuhan di dunia yang saya geluti saat ini.
BalasHapusKalau saya lebih nyaman sedikit circle tapi memang cocok, alasannya karena memang agak susah untuk beradaptasi dengan banyak pertemanan.
BalasHapusTapi semakin berusia semakin menyadari pentingnya punya circle yang beragam, makanya mulai melawan rasa nyaman sendiri ini walaupun memang agak susah
Baca tulisan ini aku jadi mikir..aku ada berapa circle yaa disekitarnya...sepertinya ada beberapa saja tapi biasanya mempunyai topik2 yang berbeda..ada seseorang yg bisa kita curhatin segala hal, ada juga yang harus dipilah hal2 tertentu saja yang bisa kita ceritakan..bener sie circle itu gak harus besar jumlah anggotanya yang penting saling memahami satu sama lain...suka banget dengan kalimat ini "kecil tapi hangat, tempat kita selalu bisa pulang meski sekadar numpang istirahat sebentar"
BalasHapusTernyata punya banyak circle seberwarna itu ya...karena space tiap orang beda2 ga sedikit circle yg itu2 aja.
BalasHapusMeski sebagian mungkin mengira temannya banyak, circlenya luas tp beberapa org masih merasa sepi dan ada beberapa jg yg terjwbka pada circle toxic
Betul sekali ini Mbak. Dulu Wakti saya hanya fokus menulis cerita anak. Circle pertemanan saya ya seputar itu saya. Yang dibahas hanya cerita anak saja hehehe. Tapi Alhamdulillah saya menemukan circle baru yaitu dunia Blogger. Hidup saya berwarna. Apalagi tetap nyambung dengan dunia menulis juga. Nah saat ingin saya pengin sekali ikut komunitas nyanyi. Suara saya sih ga bagus, tapi menyanyi membuat hati saya senang.
BalasHapusSetuju banget sama mba Aie: circle yang beragam tuh kayak kulkas penuh ide. Tiap orang punya rasa dan warna sendiri, ngebantu kita makin open minded. Karena kadang masalah terbesar kita adalah kita cuma denger suara yang mirip aja.
BalasHapusSaya tuh sering kagum sama orang yang punya banyak circle tapi bermanfaat semua. Karena saya gak seperti itu. Seuprit banget circlenya. Padahal asik ya kalau circlenya banyak. Apalagi kalau saling memberi manfaat dan solid
BalasHapus