Ada masa dalam hidupku ketika punya banyak teman terasa seperti pencapaian.
Dulu, lingkaran pertemananku luas sekali.
Hampir setiap akhir pekan ada aja yang ngajak nongkrong. Grup WhatsApp pun nggak pernah sepi—selalu ada obrolan baru, tawa, gosip ringan, atau rencana reuni.
Bukan karena aku jadi lebih sombong, atau karena mereka tiba-tiba menghilang.
Kadang cuma karena waktu dan hidup yang berjalan ke arah berbeda.
Awalnya terasa sepi.
Aku sempat bertanya-tanya: apa aku kehilangan teman?
Tapi lama-lama, aku sadar... mungkin bukan kehilangan, tapi penyaringan alami dari hidup.
Hidup Berubah, Begitu Juga Prioritas
Dulu aku punya energi untuk hadir di setiap pertemuan. Sekarang, setelah pekerjaan, keluarga, dan tanggung jawab harian, energiku nggak sebanyak dulu.
Kalau dulu aku bisa nongkrong sampai malam, sekarang rasanya pulang lebih cepat untuk rebahan dan ngobrol sama anak justru lebih menenangkan.
Aku juga mulai sadar, di usia segini, aku nggak lagi butuh banyak orang untuk merasa “terhubung.”
Yang aku butuh hanyalah beberapa orang yang benar-benar ngerti bahasa diamku.
Pertemanan di usia 40 itu bukan lagi tentang siapa yang paling sering hadir di pesta, tapi siapa yang masih mengirim pesan sederhana, “lo nggak apa-apa, kan?” saat dunia terasa berat.
Tidak Semua Pertemanan Harus Dipertahankan
Dulu aku takut kehilangan.
Aku berusaha jaga semua hubungan, meski beberapa di antaranya sudah terasa hambar.
Tapi akhirnya aku belajar: nggak semua hubungan harus dipaksa hidup.
Ada teman yang datang untuk menemani satu fase hidup kita — lalu pergi dengan tenang ketika fase itu selesai.
Dan itu nggak apa-apa.
Bukan berarti pertemanan itu gagal. Justru mungkin, di masanya, hubungan itu pernah menjadi rumah yang hangat.
Kini aku belajar untuk menerima.
Beberapa nama mungkin sudah jarang muncul di notifikasi,
tapi bukan berarti aku lupa.
Aku hanya memilih fokus pada mereka yang masih berjalan beriringan di jalan yang sama.
Pertemanan yang Lebih Jujur
Di usia 40, aku nggak lagi mencari teman yang harus selalu sependapat.
Aku lebih menghargai teman yang bisa bilang,
“lo salah, tapi gue ngerti kenapa lo begitu.”
Kami bisa saling diam berbulan-bulan, lalu tiba-tiba ngobrol lagi seolah waktu nggak pernah lewat.
Kami bisa berbeda pandangan soal banyak hal, tapi tetap saling menghormati.
Itu yang aku sebut pertemanan dewasa.
Bukan yang selalu ramai, tapi yang tenang dan tulus.
Bukan yang menuntut hadir setiap waktu, tapi yang cukup tahu kalau satu sama lain sedang baik-baik saja.
Makin Sedikit, Tapi Makin Bernilai
Sekarang, lingkar pertemananku kecil—benar-benar kecil.
Tapi hangat.
Ada yang sudah aku kenal sejak kuliah, ada yang baru muncul di fase kerja, bahkan ada yang aku temukan lewat perjalanan spiritual.
Mereka mungkin hanya segelintir, tapi selalu hadir di momen penting:
ketika aku butuh pendengar, ketika aku butuh diingatkan,
atau sekadar saat ingin duduk diam tanpa basa-basi.
Dan aku sadar,
lingkar yang kecil ini justru memberi ruang untuk tumbuh.
Nggak ada drama, nggak ada pembuktian.
Yang ada hanyalah kejujuran dan rasa saling menghargai.
Belajar Menerima Ritme Hidup
Lingkar pertemanan yang mengecil bukan tanda kita makin tertutup,
tapi tanda kita makin tahu siapa yang benar-benar penting.
Aku belajar menerima ritme hidup yang baru — yang lebih pelan, lebih tenang, tapi juga lebih jujur.
Aku nggak lagi merasa perlu membagi semua hal ke semua orang.
Aku cukup tahu kapan harus terbuka, dan kapan cukup berbagi ke segelintir hati yang bisa dipercaya.
Dan anehnya, dari situ aku menemukan kebahagiaan yang lebih dalam.
Bukan karena punya banyak teman,
tapi karena akhirnya aku punya ruang untuk mengenal diriku sendiri lebih baik.
Penutup: Pertemanan yang Bertumbuh Bersama
Di usia empat puluh, aku belajar bahwa kehilangan bukan selalu hal buruk.
Kadang itu adalah cara semesta memberi ruang untuk hal-hal baru yang lebih bermakna.
Sekarang aku nggak lagi sibuk mengejar siapa yang pergi.
Aku lebih memilih merawat mereka yang tetap tinggal,
dan bersyukur pada yang pernah singgah.
Karena pada akhirnya,
hidup bukan soal banyaknya nama di daftar teman,
tapi tentang siapa yang tetap menggenggam tanganmu ketika semua orang memilih berlalu.
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)