Ada masa di mana aku merasa “aneh”. Bangun pagi dengan tubuh lengkap, tapi jiwa terasa kosong. Bisa ketawa, tapi rasanya hampa. Bisa produktif, tapi setiap malam menangis tanpa tahu sebabnya. Aku pikir aku cuma lelah. Tapi rasa lelah itu nggak pernah pergi, bahkan setelah tidur panjang atau liburan singkat.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menemui psikolog—bukan karena aku lemah, tapi karena aku ingin mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Dan dari situlah semua ini dimulai.
Beberapa waktu lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk melakukan tes dan konseling dengan psikolog. Bukan karena aku merasa “gila” atau “tidak waras”—tapi karena aku lelah terus berpura-pura kuat. Lelah menahan tangis di balik senyum yang rapi, lelah jadi orang yang selalu terlihat baik-baik saja. Padahal di dalam, ada banyak hal yang belum selesai.
Dan hari itu datang juga. Saat hasil tes psikolog keluar, jantungku berdegup kencang. Aku menatap lembar hasil yang berisi kata-kata yang selama ini cuma aku dengar dari drama, buku, atau video orang lain: Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD.
Sesaat, rasanya seperti seluruh dunia berhenti berputar.
Antara Kaget dan “Akhirnya Ketemu Jawabannya”
Aku tidak akan bohong—reaksi pertamaku adalah kaget. Bahkan mungkin sedikit takut. Ada perasaan seperti, “Oh, jadi benar ya… ada sesuatu yang salah denganku.” Tapi di sisi lain, ada juga kelegaan yang tidak bisa dijelaskan. Karena akhirnya, aku tahu kenapa.
Apa Itu Functional Depressive Disorder?
Buat yang belum tahu, Functional Depressive Disorder adalah kondisi di mana seseorang sebenarnya mengalami depresi, tapi masih bisa “berfungsi” dalam kehidupan sehari-hari. Orangnya masih bisa bekerja, bercanda, bahkan terlihat produktif. Tapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang dalam.
Dan aku sadar, selama ini aku hidup dalam mode “bertahan hidup”. Aku tetap bekerja, tertawa, membuat konten, menulis blog, tapi ada bagian di dalam diriku yang terus berjuang untuk sekadar merasa “cukup”.
Functional depression itu seperti memakai topeng yang berat—setiap hari aku memakainya agar orang tidak khawatir. Tapi begitu sampai di rumah dan pintu tertutup, aku menjatuhkan diri di lantai, merasa hampa, merasa gagal, merasa tidak punya energi untuk apa pun.
Panic Syndrome dan Anxiety yang Tidak Terlihat
Aku juga didiagnosis Panic Syndrome dan Anxiety. Dua hal yang selama ini aku pikir cuma “overthinking biasa”. Ternyata bukan.
Aku ingat malam-malam di mana dadaku tiba-tiba sesak, tangan berkeringat, jantung berdebar seperti dikejar sesuatu. Aku pikir aku akan mati. Aku pikir itu serangan jantung. Tapi ternyata itu panic attack.
Dan anxiety—ah, ini yang paling melekat. Setiap hari, aku memikirkan “what if”. What if aku gagal? What if orang nggak suka aku? What if semua ini salah? Pikiran itu datang seperti tamu tak diundang yang tidak mau pulang.
PTSD yang Selalu Mengintai
Kadang, suara tertentu atau situasi yang mirip bisa membuatku tiba-tiba tegang, napas tersengal, bahkan menangis tanpa sebab yang jelas. Itu bukan drama. Itu reaksi tubuh terhadap trauma yang belum sembuh.
Aku, yang Masih Belajar Pulih
Setelah sesi itu, aku tidak langsung merasa lebih baik. Justru sebaliknya—aku butuh waktu untuk menerima bahwa ternyata aku memang sedang tidak baik-baik saja. Tapi kali ini, aku tidak ingin lagi menutupinya.
Aku mulai menulis lebih banyak—karena lewat tulisan, aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku juga mulai membiasakan diri untuk bilang “aku capek”, “aku sedih”, atau “aku takut”, tanpa merasa bersalah. Karena ternyata, itu bukan tanda kelemahan, tapi tanda keberanian.
Really Beb, It's Okay Not To Be Okay
Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD bukan akhir dari segalanya. Mereka bukan label yang harus kamu benci. Tapi tanda bahwa tubuh dan pikiranmu pernah berjuang keras untuk bertahan hidup.
Sekarang tugasku—dan mungkin juga tugasmu—adalah belajar untuk hidup, bukan hanya bertahan.
Penutup: Proses yang Tidak Instan
Aku masih dalam perjalanan. Masih ada hari di mana aku merasa kuat, tapi juga ada hari di mana aku hanya ingin diam dan memeluk diri sendiri. Tapi sekarang aku tahu, tidak apa-apa.
Pulih itu bukan tentang jadi “normal” lagi. Pulih itu tentang menerima bahwa aku berhak hidup dengan damai, dengan luka dan semuanya.
Jadi kalau suatu hari nanti kamu juga memberanikan diri untuk tes psikolog, jangan takut dengan hasilnya. Karena hasil itu bukan akhir, tapi awal dari perjalananmu untuk mengenal diri sendiri—lebih dalam, lebih jujur, dan lebih manusiawi.








Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)