“Bisa gak sih, jadi ibu yang hadir buat anak, tetap kerja profesional, dan gak lupa sama mimpi pribadi?” Pertanyaan ini pernah muncul berkali-kali di kepala. Jawabannya? Bisa. Tapi... pelan-pelan aja. Gak perlu buru-buru, asal tetap jalan. Well, di artikel kali ini aku akan sedikit curhat, sedikit aja ya, tentang cara aku menyeimbangkan karir, peran Ibu, dan diri sendiri. So, shall we start now ...
Awal Mula Dilema
Waktu aku memutuskan untuk tetap bekerja setelah jadi ibu, rasanya seperti berdiri di dua dunia yang sama-sama menuntut totalitas. Di satu sisi, aku ingin jadi ibu yang hadir — bukan cuma secara fisik, tapi juga emosional buat anakku. Di sisi lain, aku masih punya mimpi, karir, dan semangat untuk berkembang.
Tapi dunia gak selalu memahami itu. Ada ekspektasi untuk jadi ibu sempurna: anak harus sehat, rumah rapi, selalu sabar, dan senyum terus. Ada juga ekspektasi profesional: deadline harus on time, kerjaan gak boleh kendor, harus tetap kompetitif.
Di tengah-tengah itu semua, aku pernah burnout. Ngerasa gagal jadi semuanya. Lelah luar biasa, tapi gak bisa berhenti. Tapi justru dari titik itu, aku mulai belajar...
Pelajaran: Pelan-Pelan Aja, Asal Jalan
Aku mulai bikin sistem sendiri, ala Aie. Gak saklek, tapi cukup bikin hidup gak chaos.
-
Bikin Prioritas Harian KecilSetiap pagi aku tulis 3 hal penting yang ingin aku selesaikan hari itu. Kadang bentuknya sesimpel: “Masak bekal suami dan anak”, “Tulis 1 paragraf untuk blog”, atau “Ajak anak ngobrol tentang kegiatannya di sekolah.”Gak harus sempurna, tapi cukup konsisten.
-
Manajemen Energi, Bukan WaktuAku belajar bahwa mengatur waktu gak selalu efektif kalau tubuh dan mental lagi drop. Jadi sekarang aku lebih fokus ke: kapan energiku paling optimal? Misal, pagi hari untuk nulis, siang untuk kerja rutin, malam buat ngobrol sama anak atau me-time.
-
Jujur Sama Diri Sendiri dan Orang SekitarAku belajar berani bilang “aku butuh istirahat” atau “boleh bantuin aku gak?” — sesuatu yang dulu rasanya tabu karena takut dibilang gak kompeten.
Tentang Karier: Tetap Melangkah Meski Pelan
Walau aku kerja full-time di perusahaan, aku tetap semangat menulis di blog dan jadi content creator. Bukan karena kejar banyak cuan (meskipun itu bonus 😄), tapi karena menulis dan berbagi itu bikin aku merasa hidup.
Menulis blog, bikin konten, dan engage sama pembaca itu kayak napas kedua buatku. Tempat di mana aku gak cuma jadi “Bunda-nya anakku” atau “staff di kantor”, tapi juga Aie — yang punya suara, cerita, dan value sendiri.
Kadang aku nulis tengah malam. Kadang nulis di sela-sela jam istirahat makan siang. Kadang nulis pas lagi stress karena kerjaan. Pelan-pelan, tapi tetap jalan.
Tentang Anak: Kehadiran Lebih Penting dari Kesempurnaan
Karena ternyata, anak gak butuh ibu yang sempurna. Dia butuh ibu yang hadir. Yang mendengarkan, yang memeluk, yang gak apa-apa bilang “hari ini Bunda capek banget”.
Dan kehadiran itu bisa kita berikan, bahkan sambil tetap mengejar mimpi pribadi.
Tentang Diri Sendiri: Merayakan Progress Kecil
Itu semua layak dirayakan.
Penutup: Kamu Gak Sendiri, Kita Jalan Bareng
Karena jadi ibu bukan akhir dari mimpi. Tapi justru titik di mana kita belajar menjadi versi diri yang lebih utuh.
Kamu juga lagi berusaha menyeimbangkan karir, peran ibu, dan diri sendiri? Cerita yuk di kolom komentar. Siapa tahu ceritamu bisa jadi pelukan buat ibu lain yang baca.
Menjadi ibu ideal apalagi sempurna memang malah bikin capek hati. Bisa-bisa malah jauh dari kata ideal. Semangat selalu untuk para ibu pekerja. Pasti bisa memberikan yang terbaik untuk diri sendiri dan keluarga.
BalasHapusKadang jadi ibu Bekerja itu kita dihadapkan dilema ya mom apakah keputusan ini sudah benar. Belum lagi kadang juga ada tekanan dan situasi kantor yang membuat kita harus memilih urusan pekerjaan ketimbang anak.
BalasHapusMba, peluk virtual kamu hebat banget. Beneran sudah sangat berdamai sama diri dan situasi. Pastinya tidak mudah menjalankan multi peran serta tetap berjuang untuk tidak kehilangan diri sendiri juga.
BalasHapusSungguh tulisan mu ini sangatlah menyentuh dan membuat aku merenung. Ternyata pelan-pelan itu gapapa banget di tengah dunia yang menuntut serba cepat. Dan salutnya jujur sama sekitar tentang kondisi pun harus di normalisasi ya supaya memberikan ruang dan kesempatan lebih baik. Terima kasih banyak ya, walau belum menjadi ibu tapi aku dapat banyak ilmu lewat tulisan mu.
peran triple wanita dalam rumah tangga memang cukup berat di pikul, sebagai istri, ibu dan bekerja di kantor. pertimbangan bekerja atau tidak juga saya yakin sudah melalui komunikasi dan perimbangan yang matang dan bijak. tidak ada yang salah atau tidak tepat, terlebih jika anak mengakui atau memberikan statement, " gak apa ibu sibuk yang penting bunda mau dengerin aku", pertanda anak gak kehilangan bonding dengan kita sebagai ibu meski kita bekerja kantoran.
BalasHapuskarena yang kerap terjadi sebaliknya dan ini nyata (saya sebagai anak juga merasakan) dimana bonding ibu-anak tidak terjalin karena kesibukan ibu bekerja, sampai rumah sudah terlalu sore, ibu langsung ngurus domestik dan komunikasi dg anak seadanya.
Aku lagi burnout hari ini. Sebagai ibu rumah tangga, lagi malees banget ngapa-ngapain. Ternasuk masak pun . Makasih Mak sharingnya.
BalasHapusTerkadang dalam hidup kita akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan beserta konsekuensinya. Semangat, mba!
BalasHapusSetuju sama artikelnya, walaupun jadi fullmom worker, anak tetap harus prioritas, kerena mereka masa depan orang tuanya. Soal karir, nah ini perlu digarisbawahi banget ya, setuju banget ini, bukan berarti momnya gak bisa ngejar karir tapi slow but sure ya, karena ada prioritas, mungkin karir sedikit ngerem biar prioritas anak dulu setelah jadi ibu....
BalasHapus