Dulu, jadi orang tua itu tentang ngajarin anak pakai sendok, ngajarin huruf A sampai Z, dan nemenin tidur pakai dongeng. Sekarang? Kita belajar berhenti nanya, 'Udah makan belum?' dan mulai tanya, 'Kamu lagi ngerasa apa hari ini?' Yes di tulisan kali ini aku akan bahas tentang ketika anak sudah memasuki usia remaja, kita juga belajar jadi orangtua baru. Shall we start now ....
Aku kira, jadi orang tua itu tinggal dijalani terus aja—tinggal tambah umur, tambah pengalaman, lalu otomatis jadi lebih ahli. Ternyata enggak. Ternyata, saat anak kita tumbuh remaja, kita gak cuma mendampingi proses tumbuh mereka… kita juga sedang diajak bertumbuh jadi versi orang tua yang baru.
Masa transisi yang tak disiapkan
Anakku sekarang udah remaja. Udah bisa pakai transportasi umum sendiri, punya teman cerita yang bukan aku, dan mulai punya rahasia kecil yang gak semua bisa dia bagi. Awalnya aku panik. Loh, kok jadi jauh? Kok kayak gak butuh aku? Kok jawabnya mulai pendek-pendek?
Tapi lama-lama aku sadar: ini bukan tentang dia menjauh. Ini tentang dia berkembang. Dan aku… ternyata belum siap.
Dulu semua terasa lebih “terkontrol”. Makanan, tidur, jadwal belajar, semua masih bisa aku bantu atur. Tapi sekarang, dia mulai bikin keputusan sendiri, dan tugasku bukan lagi “mengatur”—melainkan menemani, mendengarkan, dan percaya.
Belajar ulang jadi orang tua
Ini yang aku maksud: kita belajar jadi orang tua yang baru.
Gak bisa lagi asal nasehatin. Gak bisa pakai nada tinggi terus berharap dia nurut. Karena semakin besar, anak semakin bisa membedakan mana yang sekadar omelan, mana yang tulus jadi pelukan.
Aku pernah gagal. Pernah nuntut dia cerita padahal aku sendiri belum menciptakan ruang yang aman. Pernah bilang “Bunda kan cuma pengen tahu,” padahal nada suaraku penuh curiga.
- Lebih banyak tanya, lebih sedikit menghakimi.
- Lebih sering hadir, lebih jarang nyuruh.
- Lebih peka baca ekspresi, bukan cuma nilai rapor.
Momen-momen yang membuka mata
Ada satu momen yang gak akan aku lupa. Malam itu dia bilang, “Bun, temen Darell ada yang cerita dia ngerasa sendiri, orang tuanya sibuk banget. Tapi Darell tuh bersyukur, meski bunda kerja, bunda tuh selalu sempatin dengerin aku cerita dan masakin Darell.”
Aku diam. Dan mataku basah.
Pelajaran baru dari anak yang tumbuh
Dulu aku sibuk ngajarin dia cara hidup. Sekarang, dia yang ngajarin aku cara mencintai lebih bijak.
Dia ngajarin aku untuk:
-
Gak buru-buru panik saat dia tertutup
-
Ngasih ruang untuk dia berpikir dan memilih
-
Ngerti kalau 'tumbuh' itu kadang bikin mereka bingung juga
-
Belajar bareng, bukannya merasa paling tahu
Aku juga belajar memaafkan diri sendiri. Gak semua hari berhasil jadi bunda yang ideal. Tapi setiap hari, aku bisa tetap belajar jadi bunda yang mau tumbuh.
Tidak ada rumus tetap
Jadi orang tua dari anak remaja itu kayak naik roller coaster. Kadang dekat banget, kadang mereka butuh waktu sendiri. Kadang cerita banyak, kadang cuma jawab, “Biasa aja.”
Dan semua itu… valid.
Gak semua anak remaja akan cerita soal isi hati. Tapi mereka bisa merasakan, siapa yang benar-benar hadir. Dan kalau kita terus belajar menyesuaikan cara mencinta, pelan-pelan mereka akan tahu: kita adalah rumah.
Jadi orang tua yang (selalu) mau belajar
Kalau anak kita udah gede, jangan panik kalau hubungan terasa berubah. Itu bukan tanda kita gagal. Itu tanda kita sedang diajak naik kelas—bukan hanya mereka, tapi kita juga.
Dan selama kita masih punya hati yang mau belajar, mendengar, dan mencintai tanpa syarat… aku percaya: kita gak pernah terlambat jadi rumah yang mereka butuhkan.
Dear parents, yuk ngobrol!
Kamu yang juga punya anak remaja, gimana rasanya? Ada cerita, tantangan, atau pelajaran yang kamu alami juga? Cerita di kolom komentar, ya. Siapa tahu, obrolan kita bisa jadi pelukan hangat untuk sesama orang tua 💛
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)