Ketika Anakku Mulai Deep Talk: Tentang Pertemanan yang Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Kamis, 30 Oktober 2025

Ada fase dalam perjalanan menjadi ibu yang terasa berbeda—ketika anak bukan lagi sekadar butuh dipeluk saat jatuh, tapi juga butuh didengar saat hatinya mulai belajar merasakan. Aku baru benar-benar menyadarinya ketika Darell, anakku yang kini beranjak remaja, mulai datang bukan hanya untuk minta izin main, tapi untuk bicara.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Bicara tentang hal-hal yang dulu tak pernah terlintas di benaknya: tentang pertemanan, rasa kecewa, dan bagaimana rasanya tidak dianggap. Dan malam itu, aku merasa seperti sedang duduk di antara dua versi waktu—seorang ibu yang dulu meninabobokan anak kecil, dan seorang ibu yang kini mendengarkan remaja yang sedang mencari makna tulus di dunia pertemanannya.

Beberapa waktu lalu, aku baru sadar… anakku, Darell, sudah tumbuh jadi remaja yang mulai bisa deep talk dengan ibunya.

Bukan lagi sekadar cerita tentang game, nilai ujian, atau makanan favorit. Tapi obrolan yang membuatku terdiam sejenak dan berpikir, “Wow, ternyata dia sudah sejauh ini tumbuh.”

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Malam itu kami sedang duduk santai di ruang keluarga, seperti biasa sebelum tidur. Darell tiba-tiba berkata,

“Bun, aku tuh kadang bingung. Teman yang benar-benar tulus itu kayak gimana sih? Soalnya ada teman yang aku kira dekat, tapi ternyata malah ninggalin aku waktu aku lagi nggak dianggap keren.”

Kalimatnya sederhana, tapi dalam.
Aku melihat wajahnya—ada ekspresi kecewa kecil yang ia coba sembunyikan.

Dan di situ, aku tahu:
Dia sedang belajar tentang makna pertemanan yang sesungguhnya.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Anak Remaja dan Dunia Pertemanan

Di usia remajanya sekarang, Darell mulai punya dunia sendiri. Ada lingkaran pertemanan, grup game, teman sekolah, dan teman nongkrong.
Sebagai ibu, aku tahu bahwa dunia sosial anak remaja itu bisa jadi medan belajar paling nyata tentang kehidupan.

Di fase ini, mereka mulai memahami bahwa tidak semua orang yang tertawa bersama adalah teman sejati. Tidak semua teman yang dekat, benar-benar peduli. Dan tidak semua hubungan yang terasa menyenangkan itu sehat.

Aku melihat Darell mulai menilai mana teman yang mendukungnya, dan mana yang hanya datang saat senang.

Yang membuatku terharu, ternyata di usianya sekarang, dia sudah bisa melihat sisi lain dari pertemanan: sisi kemanusiaan.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Dia bilang,

“Aku pengin jadi teman yang baik aja, Ma. Nggak mau temenan cuma karena untungnya doang. Tapi kadang aku sedih kalau nggak diajak atau dilupain.”

Dan di situlah deep talk kami dimulai.

Anak-Anak Juga Mengerti Arti Tulus

Sering kali kita, orang dewasa, berpikir bahwa anak-anak hanya tahu bersenang-senang. Bahwa mereka berteman karena main bareng, karena suka hal yang sama, atau karena sekelas.

Tapi ternyata, mereka lebih peka dari yang kita kira.

Darell membuktikannya di malam itu.
Dia bisa merasakan ketika seseorang menjauh tanpa alasan, ketika ada dinamika yang tak seimbang dalam pertemanan.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Dia sudah mengerti konsep “tulus”—meski mungkin belum bisa mendefinisikannya dengan kata-kata rumit.

Tapi dari sikapnya, aku tahu: dia tahu bagaimana rasanya berteman tanpa pamrih, dan bagaimana rasanya tidak dianggap.

Dan aku merasa, tugas orang tua bukan untuk “menyelamatkan” mereka dari rasa sedih itu, tapi menemani dan memberi ruang untuk mereka memahami maknanya sendiri.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Bagaimana Aku Menanggapi Deep Talk Itu

Aku nggak langsung memberi nasihat panjang seperti ceramah.
Aku tahu, anak remaja nggak butuh diceramahi—mereka butuh didengar.

Jadi aku bilang,

“Nggak apa-apa sedih kalau merasa nggak dianggap. Tapi jangan biarkan itu bikin kamu ragu untuk tetap jadi teman yang baik. Kadang, orang lain nggak tahu gimana cara menghargai, tapi kamu bisa tetap memilih untuk nggak jadi seperti itu.”

Darell diam. Lalu ia tersenyum kecil dan berkata,

“Iya Bun, Darell ngerti. Jadi, Darell harus tetap bersikap baik, ya?”

Aku mengangguk.

“Iya, karena menjadi baik itu bukan tentang siapa yang pantas, tapi tentang siapa kamu sebenarnya.”

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Kami lanjut ngobrol lama malam itu. Tentang bagaimana pertemanan yang sehat harus membuatmu merasa aman, bukan dibandingkan. Tentang bagaimana menjadi diri sendiri itu jauh lebih penting daripada diterima oleh banyak orang yang salah.

Dan aku, di dalam hati, bersyukur.
Karena anakku bukan hanya tumbuh tinggi, tapi juga tumbuh dalam.

Mengajarkan Tentang Pertemanan Sehat

Setelah obrolan itu, aku mulai sadar bahwa deep talk dengan anak remaja bukan hal yang harus ditunda-tunda.
Itu momen berharga untuk menanamkan nilai yang akan mereka bawa seumur hidup.

Aku bilang ke Darell,

“Teman yang baik bukan yang selalu sama pendapatnya dengan kamu. Tapi yang bisa menghargai kamu walau berbeda. Yang bikin kamu nyaman jadi diri sendiri, bukan berubah biar diterima.”

Aku juga menjelaskan bahwa dalam pertemanan, ada kalanya kita merasa ditolak, tidak dilibatkan, atau bahkan disalahpahami. Tapi bukan berarti kita kurang berharga.

Aku ingin Darell tahu bahwa ditolak bukan berarti tidak layak, dan dilupakan bukan berarti tidak berarti.

Kadang, itu hanya tanda bahwa lingkaran yang lama sudah tidak lagi sefrekuensi.

Ketika Darell Mulai Deep Talk Tentang Pertemanan, Tulus, dan Belajar Jadi Manusia Baik

Menjadi Ibu di Fase Remaja

Jujur, menjadi ibu dari remaja itu seperti belajar ulang tentang diri sendiri.
Aku belajar mendengarkan tanpa cepat bereaksi.
Belajar menghargai cara berpikirnya yang mulai logis tapi tetap emosional.
Dan belajar menahan keinginan untuk “menyelesaikan” semua masalahnya.

Karena ternyata, anak remaja tidak butuh solusi instan.
Mereka butuh tahu bahwa rumah, dan ibunya, selalu jadi tempat aman untuk pulang, untuk bercerita tanpa dihakimi.

Dan malam itu, saat Darell bilang,

“Makasih ya Bun, udah dengerin aku.”

Aku tahu, mungkin aku nggak selalu jadi ibu yang sempurna. Tapi aku ingin selalu jadi ibu yang bisa ia ajak bicara, kapan pun.

Penutup: Tentang Bertumbuh Bersama Anak

Menjadi orang tua dari anak remaja itu menantang, tapi juga indah.
Karena di balik setiap curhatan kecil, ada pelajaran besar tentang kebaikan, ketulusan, dan empati.

Darell mengingatkanku bahwa menjadi manusia baik itu tidak harus menunggu dewasa.
Bahwa anak-anak, bahkan remaja sekalipun, sudah bisa memahami bahwa pertemanan sejati dibangun dengan rasa hormat dan hati yang tulus.

Dan mungkin, tugas kita sebagai orang tua adalah menjaga agar ketulusan itu tetap hidup dalam diri mereka—di tengah dunia yang sering kali mengajarkan sebaliknya.

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)