Ada fase dalam perjalanan menjadi ibu yang terasa berbeda—ketika anak bukan lagi sekadar butuh dipeluk saat jatuh, tapi juga butuh didengar saat hatinya mulai belajar merasakan. Aku baru benar-benar menyadarinya ketika Darell, anakku yang kini beranjak remaja, mulai datang bukan hanya untuk minta izin main, tapi untuk bicara.
Bicara tentang hal-hal yang dulu tak pernah terlintas di benaknya: tentang pertemanan, rasa kecewa, dan bagaimana rasanya tidak dianggap. Dan malam itu, aku merasa seperti sedang duduk di antara dua versi waktu—seorang ibu yang dulu meninabobokan anak kecil, dan seorang ibu yang kini mendengarkan remaja yang sedang mencari makna tulus di dunia pertemanannya.
Beberapa waktu lalu, aku baru sadar… anakku, Darell, sudah tumbuh jadi remaja yang mulai bisa deep talk dengan ibunya.
Bukan lagi sekadar cerita tentang game, nilai ujian, atau makanan favorit. Tapi obrolan yang membuatku terdiam sejenak dan berpikir, “Wow, ternyata dia sudah sejauh ini tumbuh.”
Malam itu kami sedang duduk santai di ruang keluarga, seperti biasa sebelum tidur. Darell tiba-tiba berkata,
“Bun, aku tuh kadang bingung. Teman yang benar-benar tulus itu kayak gimana sih? Soalnya ada teman yang aku kira dekat, tapi ternyata malah ninggalin aku waktu aku lagi nggak dianggap keren.”
Anak Remaja dan Dunia Pertemanan
Di fase ini, mereka mulai memahami bahwa tidak semua orang yang tertawa bersama adalah teman sejati. Tidak semua teman yang dekat, benar-benar peduli. Dan tidak semua hubungan yang terasa menyenangkan itu sehat.
Dia bilang,
“Aku pengin jadi teman yang baik aja, Ma. Nggak mau temenan cuma karena untungnya doang. Tapi kadang aku sedih kalau nggak diajak atau dilupain.”
Dan di situlah deep talk kami dimulai.
Anak-Anak Juga Mengerti Arti Tulus
Sering kali kita, orang dewasa, berpikir bahwa anak-anak hanya tahu bersenang-senang. Bahwa mereka berteman karena main bareng, karena suka hal yang sama, atau karena sekelas.
Tapi ternyata, mereka lebih peka dari yang kita kira.
Dan aku merasa, tugas orang tua bukan untuk “menyelamatkan” mereka dari rasa sedih itu, tapi menemani dan memberi ruang untuk mereka memahami maknanya sendiri.
Bagaimana Aku Menanggapi Deep Talk Itu
Jadi aku bilang,
“Nggak apa-apa sedih kalau merasa nggak dianggap. Tapi jangan biarkan itu bikin kamu ragu untuk tetap jadi teman yang baik. Kadang, orang lain nggak tahu gimana cara menghargai, tapi kamu bisa tetap memilih untuk nggak jadi seperti itu.”
Darell diam. Lalu ia tersenyum kecil dan berkata,
“Iya Bun, Darell ngerti. Jadi, Darell harus tetap bersikap baik, ya?”
Aku mengangguk.
“Iya, karena menjadi baik itu bukan tentang siapa yang pantas, tapi tentang siapa kamu sebenarnya.”
Kami lanjut ngobrol lama malam itu. Tentang bagaimana pertemanan yang sehat harus membuatmu merasa aman, bukan dibandingkan. Tentang bagaimana menjadi diri sendiri itu jauh lebih penting daripada diterima oleh banyak orang yang salah.
Mengajarkan Tentang Pertemanan Sehat
Aku bilang ke Darell,
“Teman yang baik bukan yang selalu sama pendapatnya dengan kamu. Tapi yang bisa menghargai kamu walau berbeda. Yang bikin kamu nyaman jadi diri sendiri, bukan berubah biar diterima.”
Aku juga menjelaskan bahwa dalam pertemanan, ada kalanya kita merasa ditolak, tidak dilibatkan, atau bahkan disalahpahami. Tapi bukan berarti kita kurang berharga.
Menjadi Ibu di Fase Remaja
Dan malam itu, saat Darell bilang,
“Makasih ya Bun, udah dengerin aku.”
Aku tahu, mungkin aku nggak selalu jadi ibu yang sempurna. Tapi aku ingin selalu jadi ibu yang bisa ia ajak bicara, kapan pun.
Penutup: Tentang Bertumbuh Bersama Anak
Dan mungkin, tugas kita sebagai orang tua adalah menjaga agar ketulusan itu tetap hidup dalam diri mereka—di tengah dunia yang sering kali mengajarkan sebaliknya.
 








Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)