Beb, aku mau kasih tahu satu hal yang bikin aku lega banget setelah masuk usia 40: Hidup yang sempurna itu nggak ada, yang ada cuma hidup yang bermakna. Titik. Well beb, di artikel kali ini aku mau curhat tapi dengan gaya korporat, eh gimana tuh? Shall we start now...
Dulu, aku selalu berpikir, kalau di kantor aku bisa bikin laporan CSR serapi itu, dengan indikator yang terukur, hidupku di rumah juga harus serapi itu. Ya gimana, sebagai Staf corporate secretary merangkap CSRi; struktur, governance, dan perencanaan itu sudah mendarah daging.
Tapi, begitu Darell—anakku yang remaja itu—mulai protes soal waktu, dan deadline laporan korporat bertemu dengan drama ekskul yang drama banget, aku sadar: mengelola kehidupan pribadi itu jauh lebih tricky dari Bikin Standard Operating Procedure (SOP) terumit sekalipun!
Aku seperti hidup di dua universe: Dunia P3 (People, Planet, Profit) di kantor, dan dunia P3 (Parenting, Partnership, Patience) di rumah. Seringkali, dua dunia itu tabrakan dan bikin aku mikir, hidup ini butuh auditor internal!
Sini deh, beb, kita deep talk sebentar. Aku mau cerita, bagaimana aku akhirnya memutuskan untuk nggak terlalu kaku dan malah mencoba membawa filosofi CSR ke rumah. Siapa tahu, ilmu Triple Bottom Line ini bisa menolong working mom lain yang lagi overthinking kayak aku.
1. Ketika Profit Berubah Menjadi Waktu yang Berkualitas
Di dunia korporat, fokus utama kita pada prinsip CSR adalah Profit (Keuntungan). Semua program, termasuk inisiatif sosial, harus berujung pada nilai tambah bagi perusahaan.
Nah, bagi working mom usia 40-an sepertiku, profit itu harus diterjemahkan ulang. Profit sejatiku adalah waktu yang berkualitas—waktu di mana aku benar-benar hadir untuk Darell dan diriku sendiri, bukan hanya raga yang di rumah tapi pikiran masih di meeting terakhir.
Jujur, beb, effort untuk mencari profit waktu ini sering kali lebih sulit daripada mencari profit finansial perusahaan, ya kan?
Aku belajar menerapkan teknik administrasi untuk mencari Profit Waktu ini:
Mengaudit Waktu: Aku mulai mencatat detail penggunaan waktu (persis membuat time sheet). Bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk melihat, di mana kebocoran energi dan waktu itu terjadi? (Sama seperti menganalisis risiko operasional).
Mengurangi Waste: Dalam administrasi, kita selalu berupaya paperless dan mengurangi pemborosan. Di rumah, aku coba terapkan ini pada hal-hal kecil, misalnya: mengurangi waktu scrolling media sosial yang tidak relevan, atau berhenti memasak menu complicated yang ujung-ujungnya hanya menambah lelah. Hasilnya? Waste energi berkurang, profit waktu untuk Darell dan me time-ku bertambah.
2. Mengelola People di Kantor dan People di Rumah
Prinsip kedua CSR adalah People (Masyarakat/Karyawan). Di kantor, kita memastikan hak karyawan terpenuhi, training diberikan, dan komunitas sekitar diberdayakan. Ini semua butuh empati yang terstruktur, ala INFJ banget!
Lalu, bagaimana dengan "masyarakat" terkecilku—yaitu Darell dan keluargaku?
Yes beb, sebagai ibu tahu bahwa empati adalah kekuatan kita. Tapi, menghadapi Darell yang remaja itu butuh empati yang tidak menuntut balasan. Di kantor, aku bisa mengharapkan output dari program CSR. Di rumah, aku harus belajar memberi ruang.
Darell di usia remajanya adalah stakeholder utama yang kebutuhannya terus berubah. Aku tak bisa lagi menerapkan cara parenting yang sama seperti saat dia masih SD. Dia butuh:
Pemberdayaan (Empowerment): Daripada menyuruh, aku berikan tanggung jawab kecil yang dia putuskan sendiri (ala program pemberdayaan masyarakat). Contoh: Membiarkannya memilih sendiri ekstrakurikuler meski aku diam-diam berharap dia memilih yang "aman."
Hak Bersuara (Voice): Aku menetapkan "Waktu Kritik & Saran Keluarga" mingguan—seperti town hall meeting mini—di mana semua orang (terutama Darell) boleh menyampaikan keluhan tanpa diinterupsi. Ini adalah manifestasi dari good governance di rumah.
Intinya, jika di kantor kita peduli pada stakeholder, di rumah kita harus lebih peduli lagi pada internal stakeholder kita sendiri.
3. Menjaga Planet di Korporasi dan Menjaga Jiwa di Diri Sendiri
Prinsip ketiga CSR, Planet (Lingkungan), menekankan sustainability jangka panjang—bagaimana kita beroperasi tanpa merusak lingkungan.
Dalam konteks aku pribadi, "Planet" terbesarku adalah jiwaku sendiri. Keberlanjutan hidupku sebagai ibu, istri, dan profesional akan runtuh jika aku tidak menjaga inner planet ini.
Bagi ibu usia 40-an, sustainability diri artinya tahu kapan harus berhenti.
Aku sering bertanya pada diriku: "Apakah cara hidupku saat ini berkelanjutan 5 tahun ke depan?" Jika jawabannya 'tidak' karena aku kelelahan, maka aku harus melakukan intervensi (seperti program mitigasi risiko). Me time bukan kemewahan, tapi Program Konservasi Diri yang wajib!
Trik Sustainability ala Aie:
Tetapkan Boundary: Sama seperti membatasi emisi perusahaan, aku membatasi emisi negatif dari luar. Tidak ada pekerjaan di atas jam 9 malam. Tidak ada diskusi berat parenting saat sudah di kasur.
Reklamasi Diri (Self-Care): Menemukan hal-hal kecil yang "menghijaukan" jiwa. Bagiku, itu bisa berupa menulis di blog, membaca buku, atau sekadar menikmati kopi hangat sambil melihat langit pagi (ini adalah reklamasi hutan jiwa yang sempat gundul).
Membawa Prinsip P3 dari CSR ke rumah tangga telah mengubah sudut pandangku. Hidup bukan lagi soal balance (yang sulit dicapai), tapi soal harmony—seperti musik yang harus ada nada tinggi, rendah, dan jeda. Semua punya tempat dan waktu.
Nah, itu tadi kisah jujur dari working mom 40-an yang masih terus belajar. Aku tahu persis rasanya memikul beban dua dunia di pundak. Aku ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian. Kita adalah bagian dari stakeholder terbesar dalam hidup kita sendiri, dan itu keren!
Sekarang giliran kamu, beb. Coba deh, ambil satu prinsip dari pekerjaanmu (apakah itu Quality Control, Finance, atau Marketing), lalu terapkan secara sengaja di rumah.
Apa lesson learned paling soulful yang kamu dapatkan dalam proses mencari harmony ini? Ceritain padaku di kolom komentar ya! Mari kita saling support dan advocate jiwa-jiwa kita. Jangan lupa istirahat, beb! Love, Aie.
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)