Cerita seorang ibu bekerja menghadapi emosi dan bentakan anak dengan cara lebih tenang dan empati. Belajar memahami kebutuhan anak, mengelola emosi, dan membangun hubungan yang lebih hangat.
Ada satu sore yang sampai sekarang masih nempel jelas di kepalaku. Sore yang biasa saja sebenarnya—aku pulang kerja, tas masih nyangkut di bahu, make-up sudah luntur kemana-mana, dan energiku tinggal 7%. Yang ada di otakku cuma satu: rebahan.
Tapi Darell punya rencananya sendiri.
“Bunda tuh bisa gak dengerin Darell dulu!!!”
Sebagai ibu bekerja, hal-hal kayak gini tuh tricky. Ada hari-hari di mana aku bisa 100% sabar kayak malaikat. Tapi ada hari-hari lain di mana aku merasa diriku cuma manusia biasa yang kepalanya penuh PPT Proposal, tab Excel, chat kerja, dan notifikasi yang nggak berhenti-berhenti.
“Bunda denger kok. Tapi pelan ya, biar Bunda bisa ngerti.”
Dan di momen itu, melelehlah semuanya.
Ternyata dia capek. Lapar. Haus. Dan merasa aku lebih sibuk sama HP daripada sama dia—padahal HP itu kupakai buat balas WA kantor.
Akhirnya kami makan dulu. Dalam diam. Bukan diam ngambek—tapi diam yang sedang turun tensinya.
Setelah kenyang, baru kami ngobrol. Lebih jujur, lebih pelan, lebih nyambung.
Aku bilang, “Maaf ya tadi Bunda lama. Bukan nggak dengar. Bunda cuma belum selesai kerja.”
Darell menjawab dengan polosnya, “Aku cuma pengin Bunda lihat gambarku dulu.”
Ya Allah… sesederhana itu.
Di Balik Bentakan Anak, Ada Kebutuhan yang Belum Terucap
Semenjak hari itu, aku mulai belajar untuk:
Dan penting banget buatku untuk jujur pada diri sendiri bahwa ibu bekerja juga manusia. Ada kelelahan, ada pikiran bercabang, ada hari-hari sulit.
Tapi justru karena itulah, empati dari kita terasa lebih berharga.
Ibu Bekerja Tak Harus Sempurna—Yang Penting Hadir
Ada stigma bahwa ibu bekerja itu kurang dekat dengan anak. Tapi bagiku, bukan soal banyak atau sedikitnya waktu—melainkan kualitas kehadiran.
Kadang aku pulang dengan kepala penuh laporan kantor, tapi begitu Darell menyapa, aku mencoba menaruh dunia di luar pintu dulu.
Pelajaran Terbesar dari Darell
Anak itu guru paling jujur dalam hidup kita.
Lewat Darell, aku belajar bahwa:
-
marah itu bukan musuh
-
sabar itu latihan seumur hidup
-
meminta maaf bukan tanda kalah
-
hadir lebih penting daripada sempurna
-
dan bahwa cinta sering muncul dari momen kacau yang berhasil diselesaikan bersama
Dan di situlah kita tumbuh sebagai keluarga.





Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)