Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja

Minggu, 30 November 2025

Cerita seorang ibu bekerja menghadapi emosi dan bentakan anak dengan cara lebih tenang dan empati. Belajar memahami kebutuhan anak, mengelola emosi, dan membangun hubungan yang lebih hangat.

Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja

Ada satu sore yang sampai sekarang masih nempel jelas di kepalaku. Sore yang biasa saja sebenarnya—aku pulang kerja, tas masih nyangkut di bahu, make-up sudah luntur kemana-mana, dan energiku tinggal 7%. Yang ada di otakku cuma satu: rebahan.

Tapi Darell punya rencananya sendiri.

Begitu dia masuk rumah, wajahnya udah kayak awan hitam mau hujan. Nafasnya berat. Tangannya memegang mainan robot kesayangannya—yang biasanya bikin dia happy—tapi kali ini malah dia genggam kenceng.
Dan sebelum aku benar-benar siap, dia bilang dengan suara keras:

“Bunda tuh bisa gak dengerin Darell dulu!!!”

Duar.
Kalimat itu mungkin pendek, tapi efeknya kayak petasan meletup di dadaku.

Sebagai ibu bekerja, hal-hal kayak gini tuh tricky. Ada hari-hari di mana aku bisa 100% sabar kayak malaikat. Tapi ada hari-hari lain di mana aku merasa diriku cuma manusia biasa yang kepalanya penuh PPT Proposal, tab Excel, chat kerja, dan notifikasi yang nggak berhenti-berhenti.

Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja


Hari itu… aku lagi dapat versi manusianya.

Tapi di balik naiknya emosiku, ada suara kecil di kepala yang bilang:
“Diam dulu. Tarik napas. Jangan ikut naik.”

Mungkin efek dari sering baca tulisan-tulisan Dian Restu Agustina, yang entah kenapa selalu berhasil menyulap hal-hal keluarga yang berantakan jadi terasa lebih lembut, lebih bisa dimengerti.
Tiba-tiba aku kepikiran, ‘Kalau aku pengin anakku kelak tumbuh jadi manusia yang bisa kelola emosinya dengan baik, ya aku harus mulai nunjukkin caranya sekarang.’

Jadi aku duduk.
Lalu bilang pelan:

“Bunda denger kok. Tapi pelan ya, biar Bunda bisa ngerti.”

Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja


Volume Darell turun, tapi mukanya masih kayak kucing dicuekin.
Aku tanya pelan, “Kenapa marah banget tadi?”

Dan di momen itu, melelehlah semuanya.

Ternyata dia capek. Lapar. Haus. Dan merasa aku lebih sibuk sama HP daripada sama dia—padahal HP itu kupakai buat balas WA kantor.

Lepas dengar itu… rasanya kayak disadarkan:
Inilah tantangannya Parenting Style Ibu Bekerja.
Sering tampak jauh, padahal cuma lagi berusaha bertahan.

Akhirnya kami makan dulu. Dalam diam. Bukan diam ngambek—tapi diam yang sedang turun tensinya.

Setelah kenyang, baru kami ngobrol. Lebih jujur, lebih pelan, lebih nyambung.

Aku bilang, “Maaf ya tadi Bunda lama. Bukan nggak dengar. Bunda cuma belum selesai kerja.”

Darell menjawab dengan polosnya, “Aku cuma pengin Bunda lihat gambarku dulu.”

Ya Allah… sesederhana itu.

Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja

Kami berpelukan lama.
Dan dalam pelukan itu, aku merasa kami sama-sama menang hari itu—bukan karena tak ada drama, tapi karena kami melewatinya dengan hati terbuka.

Di Balik Bentakan Anak, Ada Kebutuhan yang Belum Terucap

Aku belajar satu hal penting:
Ketika anak membentak, dia bukan mau melawan. Dia sedang berusaha menyampaikan sesuatu… tapi kosakatanya belum cukup.

Emosi anak itu seperti gelombang—datang cepat, besar, dan sering tanpa peringatan.
Tugas kita sebagai orang tua bukan menghentikan gelombang itu, tapi menjadi karang yang tetap stabil saat dia menghumban.

Semenjak hari itu, aku mulai belajar untuk:

• Menahan diri sebelum membalas
• Melihat situasi dari mata anak
• Bertanya “kamu lagi butuh apa?”
• Mengakui kalau aku juga capek
• Meminta maaf kalau aku salah

Dan penting banget buatku untuk jujur pada diri sendiri bahwa ibu bekerja juga manusia. Ada kelelahan, ada pikiran bercabang, ada hari-hari sulit.

Tapi justru karena itulah, empati dari kita terasa lebih berharga.

Menghadapi Emosi Anak dengan Empati: Catatan Ibu Bekerja

Ibu Bekerja Tak Harus Sempurna—Yang Penting Hadir

Ada stigma bahwa ibu bekerja itu kurang dekat dengan anak. Tapi bagiku, bukan soal banyak atau sedikitnya waktu—melainkan kualitas kehadiran.

Kadang aku pulang dengan kepala penuh laporan kantor, tapi begitu Darell menyapa, aku mencoba menaruh dunia di luar pintu dulu.

Karena anak nggak ingat bundanya hebat di rapat.
Yang mereka ingat adalah apakah kita memandang mereka saat mereka bercerita.

Parenting buatku bukan soal teori indah dari buku.
Ini perjalanan penuh tawa, air mata, kompromi, trial-and-error.

Dan setiap sore—seperti sore itu—aku belajar jadi ibu yang lebih baik.
Untuk Darell.
Untuk diriku sendiri.
Untuk hubungan kami.

Pelajaran Terbesar dari Darell

Anak itu guru paling jujur dalam hidup kita.

Lewat Darell, aku belajar bahwa:

  • marah itu bukan musuh

  • sabar itu latihan seumur hidup

  • meminta maaf bukan tanda kalah

  • hadir lebih penting daripada sempurna

  • dan bahwa cinta sering muncul dari momen kacau yang berhasil diselesaikan bersama

Sore itu bukan hari buruk.
Itu hari yang mengajarkan kami:
bahwa cinta tidak selalu pelan—kadang ia datang dalam bentuk bentakan kecil yang butuh dipeluk.

Dan di situlah kita tumbuh sebagai keluarga.

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)