Ada satu ritual kecil yang selalu aku nantikan saat akhir pekan tiba: membuka buku favorit, menyeduh secangkir kopi hangat, dan menyiapkan "peralatan tempur" membaca yang membuat proses ini jauh dari kata biasa. Buatku, membaca bukan sekadar menyerap kata per kata dari halaman ke halaman. Ada rasa, pengalaman, dan interaksi yang terjadi antara aku dan buku yang sedang aku pelajari atau nikmati.
Membaca itu seperti ngobrol sama diri sendiri. Kadang bisa menohok, kadang menyembuhkan, sering kali juga membuka jendela baru tentang dunia yang belum pernah aku singgahi. Dan, biar sesi membaca jadi lebih hidup, aku punya kebiasaan dan pernak-pernik khas yang selalu setia menemani.
1. Stabillo, Pulpen, dan Post-it: Trio Wajib saat Membaca
Aku termasuk tipe pembaca aktif. Bukan yang cukup duduk manis dan menyimak dalam hati, tapi yang suka banget highlight kalimat-kalimat yang kena banget di hati. Karena itu, stabillo selalu jadi benda wajib yang aku siapkan sebelum membuka halaman pertama buku.
Biasanya aku pakai warna stabillo yang berbeda untuk menandai hal yang berbeda pula:
-
Warna kuning untuk kutipan favorit,
-
Warna biru untuk insight baru,
-
Warna pink untuk kalimat yang memicu refleksi diri.
Selain stabillo, aku juga punya satu pulpen khusus buat nyorat-nyoret di margin buku atau kadang di sticky note kecil kalau gak mau menodai buku terlalu banyak. Coretan ini bisa berupa komentar pribadi, pertanyaan lanjutan, atau ide konten yang muncul spontan.
Lalu ada post-it mini warna-warni yang aku tempelkan di bagian pinggir buku. Ini semacam sistem penanda visual. Kadang kalau buku udah penuh dengan post-it warna-warni, rasanya jadi puas dan bahagia banget. Aku bisa balik lagi ke bagian penting tanpa harus bolak-balik terlalu lama.
2. Buku Bukan Hanya Dibaca, Tapi Diobrolin
Salah satu alasan kenapa aku suka nyorat-nyoret dan nandain bagian penting adalah karena aku suka ngobrolin buku yang aku baca. Entah di blog, Instagram, TikTok, atau sekadar cerita ke teman. Rasanya lebih enak kalau aku bisa ngutip langsung bagian yang impactful dari buku tersebut, dan tentu saja catatan serta highlight tadi sangat membantu.
Bahkan kadang dari satu kalimat yang aku stabilo, bisa jadi benih tulisan panjang yang mengalir deras. Jadi, buku itu bukan hanya dibaca, tapi benar-benar jadi bahan bakar buat proses kreatif dan self-reflection.
3. Bookmark, Pita, dan Aksesoris Buku Lucu-lucu
Selain isi buku, aku juga suka banget memperlakukan buku seperti teman yang harus diperlakukan dengan penuh cinta. Salah satu bentuknya adalah dengan menggunakan pembatas buku atau bookmark yang lucu-lucu. Aku punya koleksi pembatas buku dari bahan kain, kertas, hingga logam. Ada yang berbentuk pita bunga, ada juga yang handmade dari temanku yang suka menggambar.
Pernah juga aku pakai pita khusus warna emas yang aku beli cuma buat buku favoritku. Rasanya seperti memberi mahkota buat buku-buku yang paling ngena di hati.
Kadang aku juga bawa buku dalam tas kecil yang isinya udah sekalian dengan alat-alat tempur tadi. Jadi di mana pun aku berada, aku bisa baca sambil tetap nyaman dan rapi.
4. Setiap Buku, Punya Ritualnya Sendiri
Beda buku, beda juga perlakuannya. Kalau baca buku fiksi, aku lebih santai, lebih menikmati alur cerita. Tapi kalau baca buku pengembangan diri atau non-fiksi, biasanya lebih serius dan intens, lengkap dengan mencatat, stabilo, dan diskusi kecil di margin.
Ada kalanya aku juga menuliskan review di jurnal setelah selesai membaca satu buku. Di situ aku tuangkan hal-hal yang aku pelajari, kutipan terbaik, dan perasaan yang muncul setelah menutup halaman terakhir. Ini semacam bentuk penghargaan buat buku tersebut.
5. Foto Buku, Kenangan yang Terekam Rapi
Salah satu hal yang gak kalah menyenangkan adalah memotret buku-buku yang udah aku baca dan hiasi dengan catatan warna-warni. Rasanya seperti mendokumentasikan perjalanan belajar dan healing-ku. Dari foto itu, aku juga bisa ngasih rekomendasi buku ke teman-teman pembaca blog atau followers yang sering tanya, “Buku ini bagus gak sih?”
Dan, yang lebih penting lagi, dari jejak-jejak warna di halaman buku itu, aku bisa lihat prosesku dalam memahami, bertumbuh, dan menyerap insight dari tiap lembar cerita.
Menutup Buku, Membuka Wawasan
Membaca buku dengan cara aktif dan penuh interaksi bukan berarti mengurangi nilai dari isi buku itu sendiri. Justru sebaliknya, itu membantuku meresapi isi buku lebih dalam, menghubungkannya dengan pengalaman pribadi, dan menjadikannya lebih bermakna.
Kalau kamu selama ini hanya membaca tanpa meninggalkan jejak, coba deh sesekali bermain dengan stabillo, post-it, atau coretan kecil. Siapa tahu kamu jadi lebih terhubung dengan isi buku, dan lebih gampang mengingat insight yang kamu dapat.
Karena pada akhirnya, buku bukan cuma untuk dibaca, tapi untuk dikenang, dibagikan, dan jadi bagian dari perjalanan hidup kita.
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)