Ada masa di hidupku yang rasanya kayak lagi tenggelam tapi gak bisa berenang. Tenggorokan sesak, hati remuk, tapi senyum harus tetap dipasang karena hidup nggak bisa di-pause. Pernah gak, ngerasa kayak gitu? Ketika roda kehidupan bener-bener lagi ada di bawah, semua serba salah, semua kayak menjauh, dan doa-doa kita kayak mental ke langit-langit kamar.
Aku pernah. Bahkan lebih dari sekali. Dan yang paling susah bukan sekadar bertahan hidup, tapi bagaimana caranya tetap percaya sama Tuhan ketika yang terjadi gak sesuai ekspektasi. Gimana caranya tetap berprasangka baik di saat kenyataan justru bikin sakit hati.
Mengakui Rasa Sakit, Tanpa Menyalahkan Takdir
Dulu, aku sering banget denial. Bilang ke diri sendiri, "Aku kuat kok," padahal enggak. Aku pernah nangis sendirian di kamar mandi kantor, pernah pura-pura sibuk di tengah kumpul keluarga biar gak ditanya-tanya, dan pernah juga hilang arah selama beberapa bulan karena satu keputusan hidup yang rasanya nggak adil banget.
Tapi dari situ aku belajar: mengakui rasa kecewa dan sakit bukan berarti aku lemah. Justru di situ letak kekuatan: ketika kita berani menghadapinya, bukan lari darinya. Aku mulai belajar menamai perasaan, nulis di jurnal, bahkan sekadar bilang, "Hari ini aku sedih," itu udah bentuk self-love yang sederhana tapi penting banget.
Belajar Duduk Diam, Bukan Karena Pasrah
Aku dulu tipe yang kalau ada masalah langsung pengen buru-buru selesai. Nggak sabaran. Tapi makin ke sini, aku sadar, kadang justru di momen stagnan itu—saat semua kayak berhenti—aku dikasih ruang untuk benar-benar ngobrol sama Tuhan. Bukan cuma minta ini itu, tapi duduk, diem, dan dengerin.
Ada satu masa di kantor, aku merasa stuck banget. Semua yang aku kerjakan kayak nggak dihargai, ide-ideku ditolak, dan rasanya kayak invisible. Tapi aku gak langsung resign atau marah-marah. Aku belajar memperbaiki komunikasi, mengelola ekspektasi, dan yang paling penting: membedakan antara luka dari luar dan luka karena egoku sendiri.
Cara Aku Mengelola Emosi: Dari Kantor, Rumah, Sampai Lingkungan
Di Kantor: Aku mulai berani bilang "nggak apa-apa kok butuh waktu" ke diriku sendiri. Gak semua harus selesai hari itu juga. Aku juga mulai berani bilang ke atasan kalau aku butuh space.
Di Rumah: Jadi ibu dan anak itu dua peran yang sama-sama butuh tenaga. Tapi aku belajar: aku gak harus jadi sempurna. Aku cukup hadir. Kadang duduk nemenin anak cerita, atau nyokap masak, itu udah bentuk healing buatku.
Di Lingkungan: Aku mulai berani cerita, tanpa harus nunggu semuanya baik-baik saja. Ternyata, ketika aku jujur, banyak juga teman yang bilang, "Gue juga pernah, Aie."
Memaknai Luka dalam Jangka Panjang
Satu hal yang aku pegang: semua luka bisa berubah jadi cahaya, asal kita sabar ngelihat prosesnya. Ada hal-hal yang gak langsung dikasih jawabannya, tapi lambat laun Tuhan kasih petunjuknya lewat orang, kejadian, atau bahkan ketenangan yang kita dapet setelah semua dilewati.
Sekarang, aku gak lagi terburu-buru "naik" waktu hidup lagi di bawah. Karena aku tahu, kadang dengan duduk dan diam, kita bisa lebih paham: bahwa Tuhan nggak salah, kita aja yang lagi belajar untuk paham.
Kalau kamu lagi di bawah, pelan-pelan ya. Gak usah buru-buru sembuh. Duduk dulu. Rasain dulu. Peluk dirimu. Karena Tuhan gak pernah ninggalin. Mungkin kamu cuma lagi diminta untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dan itu butuh waktu. Sama kayak kita butuh waktu buat pulih dan mengerti, bahwa semua ini bukan hukuman. Tapi proses pulang. Pulang ke versi terbaik dari dirimu sendiri.
kalau lagi dibawah, sabar2 dulua aja
BalasHapussemua fase harus dijalanin
biar kuat kedepannya
tidak ada yang tau rasanya manis kalau belum pernah merasakan pahit hehe