Hidup di Usia 40: Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Senin, 01 September 2025

Ada sesuatu yang berubah di pagi ulang tahunku yang ke-40. Bukan hanya angka di kalender atau ucapan selamat dari teman-teman yang muncul di WhatsApp. Ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan: setengah takut, setengah syukur.

Hidup di Usia 40 Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Aku ingat, beberapa hari sebelum ulang tahun itu, aku sempat melamun di depan cermin. Ada satu helai rambut putih yang muncul dengan pede di antara rambut hitamku. Dulu, melihat rambut putih mungkin akan membuatku langsung cari cat rambut atau buru-buru minta dicabut. Tapi kali ini, entah kenapa, aku hanya tersenyum. Seperti sedang berkata dalam hati: “Ya, inilah tanda hidup. Tanda bahwa aku sudah sampai sejauh ini.”

Hidup di Usia 40 Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh


Takut Tua Itu Nyata

Jujur saja, ada ketakutan yang tidak bisa dihindari saat memasuki usia 40. Stamina tak lagi seperti dulu. Wajah mulai menunjukkan garis-garis halus. Anak sudah makin besar, artinya aku tidak lagi jadi pusat dunianya. Di tempat kerja, orang-orang yang baru lulus kuliah datang dengan semangat baru dan ide segar, kadang membuatku merasa “apakah aku sudah mulai ketinggalan?”

Dan ya, ada momen-momen ketika melihat teman sebaya yang sudah punya pencapaian besar—karier melejit, traveling ke sana-sini, atau rumah megah—aku sempat membandingkan hidupku dengan mereka.

Hidup di Usia 40 Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Tapi di tengah semua rasa takut itu, ada satu hal yang diam-diam tumbuh: rasa syukur.

Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Syukur itu datang perlahan. Saat aku menyadari bahwa hidup di usia 40 ternyata membawa kedewasaan emosional yang tidak kumiliki di usia 20-an. Dulu, masalah kecil saja bisa bikin panik. Sekarang, aku bisa bilang ke diri sendiri: “Nggak apa-apa, ini cuma fase.”

Hidup di Usia 40 Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Ada rasa tenang ketika tahu bahwa hidup tidak harus sempurna untuk bisa dinikmati. Bahwa waktu dengan anak, meski tidak selalu panjang karena aku bekerja, bisa tetap berkualitas jika diisi dengan cinta. Bahwa pencapaian di tempat kerja, meski mungkin tidak seheboh orang lain, tetap berharga karena didapat dengan kerja keras dan integritas.

Di usia 40, aku juga belajar memilih lingkungan yang sehat. Tidak lagi memaksakan diri bertahan di circle yang toxic hanya demi dianggap “teman baik.” Sekarang, aku lebih suka dikelilingi orang-orang yang mendukung pertumbuhan, yang bisa diajak tertawa dan menangis tanpa drama berlebihan.

Hidup di Usia 40: Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Pelajaran Hidup di Usia 40

Mungkin inilah hal terpenting yang kupelajari: usia 40 bukan akhir, tapi justru bab baru. Bab di mana aku mulai lebih peduli pada kesehatan fisik dan mental. Bab di mana aku berani bilang tidak untuk hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai hidupku. Bab di mana aku belajar merayakan hal kecil—secangkir kopi panas di pagi hari, obrolan ringan dengan anak sebelum tidur, atau jalan-jalan sebentar di akhir pekan.

Hidup di usia 40 mengajarkanku bahwa pencapaian terbesar bukanlah apa yang bisa dipamerkan di media sosial, tapi kedamaian yang kurasakan di dalam hati.

Hidup di Usia 40: Antara Takut Tua dan Syukur yang Diam-Diam Tumbuh

Menutup dengan Syukur

Hari itu, di ulang tahunku yang ke-40, aku tidak lagi mengusir rasa takut. Aku membiarkannya duduk di sampingku, tapi tidak menguasai panggung hidupku. Karena di sebelah rasa takut itu, ada rasa syukur yang lebih besar. Syukur karena masih diberi kesempatan hidup, masih bisa mencoba hal-hal baru, masih bisa mencintai dan dicintai.

Hidup di usia 40 mungkin tidak selalu mudah. Tapi kalau ditanya apa yang paling kurasakan sekarang? Jawabannya sederhana: aku lebih damai, lebih menerima, dan lebih bahagia dengan diriku sendiri.

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)