Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Minggu, 02 November 2025

Ada masa di mana aku merasa “aneh”. Bangun pagi dengan tubuh lengkap, tapi jiwa terasa kosong. Bisa ketawa, tapi rasanya hampa. Bisa produktif, tapi setiap malam menangis tanpa tahu sebabnya. Aku pikir aku cuma lelah. Tapi rasa lelah itu nggak pernah pergi, bahkan setelah tidur panjang atau liburan singkat.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menemui psikolog—bukan karena aku lemah, tapi karena aku ingin mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Dan dari situlah semua ini dimulai.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Beberapa waktu lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk melakukan tes dan konseling dengan psikolog. Bukan karena aku merasa “gila” atau “tidak waras”—tapi karena aku lelah terus berpura-pura kuat. Lelah menahan tangis di balik senyum yang rapi, lelah jadi orang yang selalu terlihat baik-baik saja. Padahal di dalam, ada banyak hal yang belum selesai.

Dan hari itu datang juga. Saat hasil tes psikolog keluar, jantungku berdegup kencang. Aku menatap lembar hasil yang berisi kata-kata yang selama ini cuma aku dengar dari drama, buku, atau video orang lain: Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD.

Sesaat, rasanya seperti seluruh dunia berhenti berputar.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Antara Kaget dan “Akhirnya Ketemu Jawabannya”

Aku tidak akan bohong—reaksi pertamaku adalah kaget. Bahkan mungkin sedikit takut. Ada perasaan seperti, “Oh, jadi benar ya… ada sesuatu yang salah denganku.” Tapi di sisi lain, ada juga kelegaan yang tidak bisa dijelaskan. Karena akhirnya, aku tahu kenapa.

Kenapa aku sering tiba-tiba menangis tanpa alasan.
Kenapa aku sering panik hanya karena hal kecil, meski tak terlihat dari luar.
Kenapa tubuhku gemetar saat menghadapi situasi tertentu yang sebenarnya tidak berbahaya.

Dan kenapa aku sering merasa lelah, bahkan di hari-hari di mana aku tidak melakukan apa-apa. Diagnosis itu seperti menyalakan lampu di ruangan gelap. Menakutkan, tapi juga menerangi.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Apa Itu Functional Depressive Disorder?

Buat yang belum tahu, Functional Depressive Disorder adalah kondisi di mana seseorang sebenarnya mengalami depresi, tapi masih bisa “berfungsi” dalam kehidupan sehari-hari. Orangnya masih bisa bekerja, bercanda, bahkan terlihat produktif. Tapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang dalam.

Dan aku sadar, selama ini aku hidup dalam mode “bertahan hidup”. Aku tetap bekerja, tertawa, membuat konten, menulis blog, tapi ada bagian di dalam diriku yang terus berjuang untuk sekadar merasa “cukup”.

Functional depression itu seperti memakai topeng yang berat—setiap hari aku memakainya agar orang tidak khawatir. Tapi begitu sampai di rumah dan pintu tertutup, aku menjatuhkan diri di lantai, merasa hampa, merasa gagal, merasa tidak punya energi untuk apa pun.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Panic Syndrome dan Anxiety yang Tidak Terlihat

Aku juga didiagnosis Panic Syndrome dan Anxiety. Dua hal yang selama ini aku pikir cuma “overthinking biasa”. Ternyata bukan.

Aku ingat malam-malam di mana dadaku tiba-tiba sesak, tangan berkeringat, jantung berdebar seperti dikejar sesuatu. Aku pikir aku akan mati. Aku pikir itu serangan jantung. Tapi ternyata itu panic attack.

Dan anxiety—ah, ini yang paling melekat. Setiap hari, aku memikirkan “what if”. What if aku gagal? What if orang nggak suka aku? What if semua ini salah? Pikiran itu datang seperti tamu tak diundang yang tidak mau pulang.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

PTSD yang Selalu Mengintai

Yang paling membuatku terdiam adalah saat psikologku menjelaskan bahwa aku juga mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Aku tidak pernah menyadari bahwa luka masa lalu bisa sedalam itu. Aku pikir aku sudah memaafkan, sudah melupakan, sudah baik-baik saja. Tapi ternyata, tubuhku masih mengingat.

Kadang, suara tertentu atau situasi yang mirip bisa membuatku tiba-tiba tegang, napas tersengal, bahkan menangis tanpa sebab yang jelas. Itu bukan drama. Itu reaksi tubuh terhadap trauma yang belum sembuh.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Aku, yang Masih Belajar Pulih

Setelah sesi itu, aku tidak langsung merasa lebih baik. Justru sebaliknya—aku butuh waktu untuk menerima bahwa ternyata aku memang sedang tidak baik-baik saja. Tapi kali ini, aku tidak ingin lagi menutupinya.

Aku mulai pelan-pelan belajar untuk self-awareness.
Mengenali kapan tubuhku lelah.
Kapan pikiranku mulai overdrive.
Kapan aku perlu berhenti sejenak dan bernapas.

Aku mulai menulis lebih banyak—karena lewat tulisan, aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku juga mulai membiasakan diri untuk bilang “aku capek”, “aku sedih”, atau “aku takut”, tanpa merasa bersalah. Karena ternyata, itu bukan tanda kelemahan, tapi tanda keberanian.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Really Beb, It's Okay Not To Be Okay

Kalau kamu membaca ini dan merasa relate, aku cuma ingin bilang: kamu tidak sendirian.
Kadang, kita terlalu sibuk jadi versi terbaik dari diri kita, sampai lupa bahwa menjadi manusia itu juga berarti bisa lelah, bisa rapuh, bisa butuh bantuan.

Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD bukan akhir dari segalanya. Mereka bukan label yang harus kamu benci. Tapi tanda bahwa tubuh dan pikiranmu pernah berjuang keras untuk bertahan hidup.

Sekarang tugasku—dan mungkin juga tugasmu—adalah belajar untuk hidup, bukan hanya bertahan.

Ketika Hasil Tes Psikolog Mengatakan Aku Punya Functional Depressive Disorder, Panic Syndrome, Anxiety, dan PTSD

Penutup: Proses yang Tidak Instan

Aku masih dalam perjalanan. Masih ada hari di mana aku merasa kuat, tapi juga ada hari di mana aku hanya ingin diam dan memeluk diri sendiri. Tapi sekarang aku tahu, tidak apa-apa.

Pulih itu bukan tentang jadi “normal” lagi. Pulih itu tentang menerima bahwa aku berhak hidup dengan damai, dengan luka dan semuanya.

Jadi kalau suatu hari nanti kamu juga memberanikan diri untuk tes psikolog, jangan takut dengan hasilnya. Karena hasil itu bukan akhir, tapi awal dari perjalananmu untuk mengenal diri sendiri—lebih dalam, lebih jujur, dan lebih manusiawi.

9 komentar

  1. Peluk Mba Ai...alhamdulillah ada jalan Allah yang menuntut untuk menemukan jawaban yaa. Selanjutnya bersabar menemani "diri" berproses untuk pulih...semangat mbaaa

    BalasHapus
  2. Prikolog dan psikiater bukan hanya untuk oranv yang mengalami gangguan jiwa. Karena semua orang pasti pernah mengalami kelelahan mental dan pikiran. Fisik lelah aja harus diobati, yaa sama saja dengan jiwa dan pikiran kita pun harus diobati juga. Biar fresh dan sehat kembali. Kalau menurut saya malah perlu lho, kita rutin cek ke psikolog atau psikiater untuk memastikan mental health kita prima. Yaa minimal buat curhaat, daripada curhat ke sembarang orang gak ada jaminan aman.

    BalasHapus
  3. Ya Allah Ai, alhamdulillah alarm di badan kamu menyala dan kamunya juga peka, nyadar kalau ada yang salah selama ini tapi ga ngerti apa. Makasih sharenya ya Ai ☺

    BalasHapus
  4. Proses memahami hasil tes psikolog memang seringkali tidak mudah, penuh perenungan, bahkan mungkin mengejutkan. Salut untuk kejujuran dan keterbukaan Mbak Aie dalam menerima dan memproses hasilnya. Semoga perjalanan self-discovery ini membawa Mbak Aie pada pemahaman diri yang lebih damai. Terima kasih sudah berbagi cerita, mengingatkan pentingnya konsultasi kepada ahlinya agar menemukan solusi yang tepat.

    BalasHapus
  5. Peluk virtual mba Aie, nggak kebayang reaksi pertama kali tau diagnosis dari psikolog pasti campur aduk banget. But, aku salut sama mba, berani melangkah pasti. Mencari tau ke ahli dan setelah tau, sadar bahwa harus berjuang mengenali diri dan pulih. Semoga dalam proses pulih dimudahkan dan dilancarkan, kembali sehat dan merasa penuh aamiin.

    BalasHapus
  6. Peluk jauh, Kak Aie. Sebenarnya aku bingung mau menuliskan apa. Baca penuturan Kakak aja rasanya aku cuma sanggup meluk Kakak doang kalau Kakak sedang ada di depanku saat ini.

    Tapi, pesan Kakak, "hiduplah, bukan bertahan" rasanya nyessss sekaligus bikin nyesek. Bisa jadi banyak juga orang yang merasa begini tapi belum punya keberanian buat ambil jadwal konsul ke psikolog. Makasih udah memulai langkah baik dan mengisahkannya. Semoga pembaca yang mampir ke mari dan merasakan keadaan serupa, terdorong juga buat melangkah ke ruang konsul demi pulih, seperti Kak Aie.

    BalasHapus
  7. Semangat Kak Aie untuk pulih.
    InsyaAllah bisa. Alhamdulillah-nya gercep ya untuk langsung konsul, jadi bisa engeh ada apa dalam diri.
    Lanjutkan berkarya, zikiran dan berbahagialah Kak 🥰

    BalasHapus
  8. Salut buat Mbak Aie berani banget buka cerita dan jujur sama diri sendiri. Kadang kita lihat orang “normal-normal aja” tapi nggak tahu apa yang dia pendam di dalam. Kalau hasil tes psikolog bilang ada hal yang perlu diperhatikan, justru itu bisa jadi titik awal supaya kita benar-benar peduli sama kesehatan mental kita.

    BalasHapus
  9. Ahh i feel you mbaakkk. Yang semua kamu rasakan itu valid.🤗Boleh spill psikolog online atau offline mbak??

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)