“Laki-laki jangan cengeng!”
“Udah, nggak usah baper.”
Kalimat-kalimat itu mungkin terdengar sepele. Tapi ternyata bisa jadi luka yang nggak kelihatan. Dan sebagai ibu dari anak laki-laki, aku belajar untuk nggak ikut mengulangnya. Well moms, di artikel kali ini aku akan bahas tentang, 'Cowok Juga Boleh Nangis: Pelajaran Emosi Buat Darell (dan Bunda Juga)'. Shall we start now ...
Aku masih inget banget satu momen beberapa tahun lalu, waktu Darell — anakku — pulang dari sekolah, mukanya kusut, matanya merah, tapi dia diam seribu bahasa. Insting seorang ibu langsung jalan: ada yang nggak beres.
“Ada apa, Nak?” tanyaku pelan.
Dan dia cuma bilang, “Enggak, Bun. Cowok gak boleh nangis.”
Saat itu juga, aku merasa tertampar. Anak laki-laki yang kubesarkan, ternyata sudah mulai menyimpan perasaan sendiri. Bukan karena dia nggak bisa cerita. Tapi karena dia percaya kalau cowok gak boleh keliatan lemah.
Pelan-Pelan, Kita Sama-Sama Belajar
Sebagai seorang ibu millennial yang besar di era ’90-an dengan nilai “laki-laki harus kuat, gak boleh nangis, harus tahan banting,” aku tahu banget seperti apa pola pikir yang melekat. Tapi dunia berubah. Dan aku pengen anakku tumbuh sebagai laki-laki yang bukan cuma tangguh fisik, tapi juga peka, berempati, dan bisa memahami emosinya sendiri.
Dan ternyata, perubahan kecil ini berpengaruh besar buat hubungan kami.
Percakapan-Perkecil Luka
Pernah suatu malam Darell bilang:
“Bunda, aku tuh kadang sebel tapi bingung ngomongnya gimana. Aku takut dibilang lebay.”
Deg. Lagi-lagi aku belajar: mengungkapkan emosi itu gak semudah kelihatannya, apalagi buat anak laki-laki. Di usia remajanya sekarang, emosi itu seperti puzzle yang belum semua kepingnya ketemu tempatnya.
Aku gak selalu langsung ngerti. Tapi aku berusaha ada. Menyediakan ruang aman buat dia jadi diri sendiri — marah, sedih, bingung — tanpa takut dihakimi atau di-“nasihatin” duluan.
Emosi Itu Bukan Musuh
Sebagai orang dewasa, kita aja kadang susah banget mengungkapkan perasaan, apalagi anak-anak. Dan ternyata, jadi laki-laki nggak membuat emosi mereka hilang. Mereka tetap bisa kecewa, merasa takut, sedih, bahkan insecure. Bedanya, sering kali mereka diminta menahannya rapat-rapat, karena dianggap itu bukan bagian dari “definisi laki-laki sejati”.
Aku pengen Darell tumbuh sebagai laki-laki yang bisa bilang:
-
“Aku marah karena aku merasa gak dihargai.”
-
“Aku sedih karena aku kehilangan sesuatu.”
-
“Aku sayang sama kamu.”
Karena ini bukan kelemahan, tapi kekuatan. Kekuatan untuk mengenali diri sendiri, dan memperlakukan orang lain dengan empati.
Jadi Ibu dari Anak Laki-Laki, Berarti Kita Juga Harus Healing
Saat aku membesarkan Darell, ternyata aku juga sedang menyembuhkan bagian kecil dari diriku sendiri. Bagian yang dulu mungkin pernah menganggap tangisan itu lemah. Yang malu menangis di depan orang. Yang sulit menerima emosi negatif karena takut dianggap terlalu sensitif.
Kini aku tahu, tidak ada yang salah dengan menangis, kecewa, atau sedih. Justru itu tanda kalau kita manusia. Dan Darell, anak laki-lakiku, berhak menjadi manusia yang utuh. Bukan versi yang “tahan banting” tapi kesepian.
Jalan Masih Panjang, Tapi Kita Jalan Bareng
Aku gak bisa janji selalu jadi ibu yang paling sabar. Kadang aku masih suka terburu-buru memberi nasihat, atau refleks menyuruhnya “sabar dulu”. Tapi aku juga selalu bilang maaf dan ngajak ngobrol lagi.
Penutup: Jadi Cowok yang Punya Hati Itu Bukan Salah
Buat kamu yang juga membesarkan anak laki-laki, mungkin kita sama-sama sedang belajar. Belajar melepaskan ekspektasi lama, dan membangun ruang aman yang baru. Tempat di mana anak laki-laki boleh sedih, boleh bingung, boleh gagal — dan tetap merasa dicintai.
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir dan membaca tulisanku ini, bahagia deh rasanya kalo kamu bisa berkomentar baik tanpa ngasih link apapun dan enggak SPAM. :)